Sabtu, 31 Maret 2012

Rasa Rindu Menjadi Inspirasi Nama Badai


Badai tak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Tapi coba perhatikan, nama-nama badai di wilayah Samudera Pasifik banyak sekali bernuansa feminis. Nama-nama itu banyak diadopsi dari nama-nama perempuan. Ada badai yang bernama Emili, Irene, Katrina, ada juga yang bernama Ileana, dan sebagainya.

Nama-nama itu rupanya menjadi tanda. Beda nama badai, akan berbeda karakter, lokasi lintasan, juga waktu kehadiran. Namun apapun namanya, semua badai tetap mengandung risiko tinggi. Sebagian badai menelan banyak korban, juga mengundang kerusakan yang sangat dahsyat. Setiap tahun, angin kencang ini hadir secara bergantian.

Selama ratusan tahun yang lalu, manusia sebenarnya sudah mengenal adanya badai. Salah satu badai besar yang tercatat sejarah terjadi tahun 1722 di Amerika Serikat (AS). Saat itu belum diberi nama, sehingga sejarah cuma mencatatnya sebagai the Great Hurricane (badai besar). Kemudian di tahun 1900 kembali terjadi badai yang disebut Badai Galveston. Saat itu, sebutan-sebutan badai merujuk pada hal yang sangat beragam, bisa lokasi, nama hari, sebutan publik, dan sebagainya.

Ahli cuaca dari Australia Clement Wragge, kemudian merasa penamaan yang merujuk pada beragam hal itu tak punya kejelasan. Dia lantas mencoba membuat nama-nama badai dengan dasar mitologi Yunani. Namun ternyata cara seperti ini cukup menyulitkan. Lalu dia mencoba member nama-nama badai dengan nama tokoh politik yang menonjol di wilayah lintasan badai. Tapi rupanya cara seperti ini juga kemudian dirasakan menyulitkan.

Cara yang ditempuh Wragge ini ternyata mengilhami pada ahli cuaca di Angkatan Udara Amerika Serikat. Pasukan yang  bernama US Air Force ini terpikir untuk membuat nama-nama badai di Pasifik saat terjadi Perang Dunia II. Penamaan ini penting untuk membuat peta badai di Pasifik bagi kepentingan perang.

Mereka ternyata tidak punya standar khusus untuk menyebut nama-nama badai. Tanpa alasan argumentatif, mereka kemudian berlomba menamai masing-masing badai dengan nama pacar atau istrinya untuk mengobati rasa rindu selama menjalani tugas di medan pertempuran. Karena itu tidaklah mengherankan jika kemudian nama-nama badai yang dikenal luas mirip-mirip nama perempuan.

Kebiasaan seperti ini berlangsung hingga tahun 1945. Menurut catatan history.com, Biro Cuaca Nasional AS mulai dibentuk tahun 1945. Saat itu, penamaan badai masih terpengaruh oleh kebiasaan US Air Force. Barulah di tahun 1953 ditata lagi standarnya menggunakan ikon-ikon militer dan sebagian masih menggunakan nama perempuan.

Di tahun 1960, penggunaan nama-nama perempuan untuk member nama badai menjadi dikursus yang meluas. Para aktivis perempuan keberatan dengan cara penamaan seperti itu. Salah satu lembaga yang sangat keras mengajukan protes saat itu adalah National Organization for Women. Salah satu anggotanya yang berasal dari Miami, Roxcy Bolton berteriak sangat keras karena keberatan nama perempuan dijadikan sebagai nama-nama badai.

“Perempuan itu bukanlah bencana yang hadir menghancurkan kehidupan dan masyarakat, serta menyisakan kerusakan berkepanjangan,” kata dia seperti ditulis history.com. Protes ini kemudian menghadirkan diskusi panjang soal penamaan badai. Baru di tahun 1979, Badan Cuaca Nasional AS dan Asosiasi Cuaca Dunia sepakat untuk membuat nama badai secara seimbang. Ada nama perempuan, ada pula nama laki-laki yang digunakan untuk menamai badai.

Badan Cuaca Nasional kemudian membuat nama-nama badai dalam beberapa tahun ke depan dengan mengkombinasikan nama laki-laki dan perempuan. Beberapa nama laki-kali yang dijadikan nama badai itu antara lain Andrew, Alberto, Fernand, Gaston, dan sebagainya. Nama-nama ini antara lain bisa di lihat di situs www.nhc.noaa.gov. Di satu sudah dibuat daftar nama yang akan dipakai, serta nama-nama yang sudah tidak dipakai lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
THANKS FOR VISITING DEWIMARLAINA.BLOGSPOT.COM