Selain
menyuguhkan bangunan kuno yang eksotis, Eropa di masa lalu juga
menyisakan potret sadis. Penyiksaan kejam menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat setempat di masa lampau. Kekuasaan gereja yang sangat dominan
di abad pertengahan di Eropa cenderung menyengsarakan. Semua orang yang
berusaha melawan gereja, harus mengadapi penyiksaan hidup
berkepanjangan.
Galileo Galilei menjadi salah satu
korbannya. Penemu teropong bintang itu mempercayai bahwa bumi berputar
dan bergerak mengelilingi matahari. Saat itu ajaran gereja secara kuat
mempercayai teori yang mempercayai bahwa matahari selalu bergerak
mengelilingi bumi. Atas kepercayaan itu, Galileo kemudian dipenjara
hingga akhir hayatnya.
Kekuatan fasis di awal hingga pertengahan
abad ke-19 di Eropa juga menyisakan sisi buram Eropa. Francisco Franco
di Spanyol, Benito Mussolini di Italia, serta Adolf Hitler di Jerman
menghadirkan kesengsaraan berkepanjangan bagi sebagian masyarakat Eropa
di masa lalu.
Penyiksaan terhadap setiap orang yang
dianggap melawan kekuasaan fasis berlangsung sangat sadis. Potret
kesadisan itu masih terdokumentasi di museum yang berdiri di kota kuno
di tepi Sungai Rhein bernama Rudheseim. Museum itu sendiri bernama
Museum Fur Mittelalterliche Rechtsgeschichte.
Museum tersebut berada di bagian tengah
pasar souvenir Rudheseim. Dari tepi Sungai Rhein, wisatawan perlu
berjalan sekitar 150 meter. Di atas gerbang tertulis jelas nama museum
itu. Begitu masuk museum, pengunjug langsung melihat loket penjualan
tiket masuk museum. Harga tiket masyarakat umum 5 euro, dan tiket untuk
pelajar/mahasiswa seharga 4,5 euro. Suasana menyeramkan langsung terasa
begitu pengunjung melewati loket penjualan tiket masuk.
Lantai dasar museum memajang alat-alat
penyiksaan seperti kursi paku, pisau besar yang terpasag di tiang-tiang
kayu untuk memenggal leher para penentang kekuasaan. Di lantai tersebut
juga dipajang berbagai alat untuk mencabik-cabik tubuh manusia. Sebagian
alat berbentuk mirip garpu besar, dan sebagian lainnya mirip sikat yang
serabut-serabutnya terbuat dari paku tajam. Ada juga kalung bergerigi
yang menjadi alat untuk menusuk leher.
Dari pengamatan asalmulane, di
lantai dua museum terlihat alat pasung terbuat dari kayu mirip kandang
burung berukuran besar. Teks di sebelah alat itu menceritakan bahwa
orang yang dihukum pasung baru bisa dibebaskan setelah kayunya lapuk.
Karena itu, tidak ada satupun korban hukuman pasung yang bisa bebas
dalam kondisi hidup. Mereka semua meninggal sebelum kayu pemasungnya
lapuk. Sebelum kayu pemasungnya lapuk, pesakitan yang sudah meninggal
itu tetap tidak bisa dibebaskan.
Di dekat pasungan kayu juga terpajang alat
penghancur mulut. Alat itu mirip baling-baling yang bisa mekar dan
kuncup terbuat dari logam yang ujungnya tajam dan bergerigi mirip
gergaji. Alat itu dimasukkan mulut dalam kondisi kuncup dan langsung
dimekarkan begitu sudah berada di dalam mulut. Setelah mekar, alat
tersebut diputar mirip baling-baling.
Di lantai dua museum tersebut juga dipajang
foto-foto kekerasan perang suku di Rwanda, Afghanistan, juga tempat
lain. Lantai ketiga museum itu hanya berupa ruang kecil yang
remang-remang dan berisi kursi paku serta beberapa alat lain seperti
tiang gantung, besi pemukul, beberapa alat mirip pisau besar, dan
perangkat penyiksaan yang lain.
Hampir seluruh ruangan museum menyajikan
suasana menyeramkan. Selain cahaya merah remang-remang, udara dingin
juga terus dihembuskan dari AC ke seluruh bagian museum. Alunan suara
mirip lantunan seriosa juga terus diputar sayup-sayup untuk menimbulkan
efek yang sangat menyayat.
sumber: http://onex86.blogspot.com/2012/01/museum-penyiksaan-jadi-saksi-di-tepi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar