Hari-hari berat kehidupan Paul Tibbets di dunia berakhir
sudah. Pria yang namanya membubung setelah menjatuhkan bom atom dan
menghancurkan kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 itu mengembuskan napas
terakhir, Rabu 1 November lalu, pada usia 92 tahun.
Tak ada pesan penting yang disampaikan menjelang
kematiannya. Beberapa hari menjelang kematian, dia hanya mengharapkan agar
makamnya tidak diberi tanda dengan apapun. Selain itu, dia pun meminta agar
jasadnya dikremasi. Dengan begitu, orang-orang yang mengecam pengeboman
tersebut dan tak menyukainya tidak sampai menjadikan makam sebagai pelampiasan
amarah.
Semasa hidupnya, Tibbets memang sasaran kecaman. Selain itu,
mentalnya pun dituntut untuk gigih mempertahankan argumentasi yang melandasi
tindakannya itu. Maklumlah, lima ton bom atom yang ditaburkan di kota Hiroshima
itu membuat sedikitnya 100 ribu orang meninggal dan 80 orang lainnya cedera.
Sebagian korban yang cedera itu masih hidup hingga hari ini.
Dalam berbagai penyataannya, Tibbets tidak pernah
mengungkapkan penyesalan atas pembunuhan massal itu. Bahkan dalam sebuah
kesempatan di tahun 1975, dia mengaku bangga karena berhasil menjalankan
misinya dengan berhasil. Karena misi itulah, Tibbets, memandang bahwa Perang
Dunia II bisa diakhiri.
Misi mematikan itu tidaklah dirancang dalam sekejap.
Menurut
catatan The Independent, sejatinya misi tersebut sudah direncanakan sejak
September 1944 saat Tibbets berpangkat kolonel. Saat itu dia dipilih untuk
memimpin pasukan khusus angkatan udara Amerika Serikat (AS) yang akan
menjalankan Proyek Alberta. Nama tersebut merupakan sandi untuk pesawat terbang
yang dirancang untuk menjatuhkan bom atom. Pesawat itu dirancang di Los Alamos,
New Mexico, di bawah proyek sangat rahasia yang bernama Proyek Manhattan.
Sebelum digunakan dalam operasi yang sesungguhnya, bom
tersebut diuji coba pada Juli 1945. Setelah serangkaian rencana, ditetapkanlah
tanggal 6 Agustus 1945 sebagai hari penyerangan. Dengan pesawat pengebom B-29,
sekitar pukul 03.00 dinihari waktu setempat, Tibbets bersama kru meninggalkan
landasan di Pulau Tinian, Lautan Pasifik, dan menempuh perjalanan selama hampir
enam jam menuju Hiroshima. Dia tidak memberitahukan kepada kru bahwa yang
diangkutnya itu bom atom sampai pesawat benar-benar mengudara. Pukul 8.15 waktu
Hiroshima, bom bernama Little Boy itu pun dijatuhkan dan meluluhlantakkan
Hiroshima.
Kerusakan berat kota Hiroshima itu pun dilihatnya secara
jelas. Tibbets mengungkapkan bahwa dia bisa melihat Hiroshima sangat jelas di
bawah siraman cahaya matahari pagi beberapa saat sebelum bom atom dijatuhkan.
''Tapi kemudian itu sama sekali tidak terlihat karena tertutup api dan asap,''
kata Tibbets semasa hidupnya. Setelah bom dijatuhkan, dia berusaha menjauhkan
pesawatnya dari pusat ledakan.
Presiden AS saat itu, Harry Truman, yang meminta misi
tersebut dijalankan, pun tidak pernah mengungkapkan penyesalan atas peristiwa
tersebut. Hal yang sama juga dilakukan Tibbets. ''Saya tidak bangga karena
membunuh 80 ribu orang. Tapi saya bangga karena saya bisa memulainya dari nol,
merencanakannya, dan menjalankannya secara sempurna,'' kata Tibbets dalam
sebuah kesempatan beberapa tahun setelah pengeboman terjadi. Setelah pengeboman
itu, dia mengaku tetap bisa tidur nyenyak setiap malam. Namun demikian, kecaman
terhadap Tibbets dan pengeboman itu terus mengalir.
Kru yang ikut misi pengeboman tersebut, dalam peringatan 60
tahun peristiwa Hiroshima, pun mengaku bisa mengerti mengapa Tibbets tidak
pernah mengungkapkan penyesalannya. Theodore J ''Dutch'' Van Kirk (navigator)
dan Morris R Jeppson (staf penguji senjata) menjelaskan bahwa waktu itu
penggunaan senjata atom memang sangat dibutuhkan oleh sejarah. Karena itulah,
menurut mereka, tidak perlu ada penyesalan.
Setelah pensiun dari Angkatan Udara AS pada 1966, Tibbets
diangkat sebagai atas pertahanan di Kedutaan Besar AS di New Delhi India. Saat
itulah, percobaan pembunuhan terhadap dirinya terjadi. Pelakunya adalah
kalangan yang menentang pengeboman Hiroshima dan tidak menghendaki Tibbets
hadir di India. Kariernya di Kedutaan Besar AS di India itu pun tak lama. Dia
segera ditarik kembali setelah beberapa kekuatan politik setempat melancarkan
protes keras.
Hingga kematiannya, keberadaan Tibbets tetap mengundang
penyesalan bagi banyak orang. Seorang korban pengeboman tersebut, Nori Tohei
(79 tahun), sangat menyesalkan karena hingga kematiannya Tibbets tidak pernah
mengucapkan maaf. ''Saya sebenarnya ingin sekali dia bisa hadir di Hiroshima
dan bisa menyaksikan langsung apa yang telah dia kerjakan sebagai seorang
manusia,'' tutur Tohei.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar