Benarkah?
Ya benar sekali, dalam sejarah yang tidak terungkap dan tidak pernah
terungkap dan hanya diungkap di kalangan akedemisi yang berhubungan
dengan sejarah, tercatat bahwa suku indian Cherokee mayoritas beragama
muslim. Sebagai bukti bahwa hal itu memang benar, kalau ada rejeki dan
kesempatan bisa berkunjung ke perpustakaan kongres amerika (Library of
Congress) silahkan minta untuk ditunjukkan arsip perjanjian antara
pemerintah AS dan orang-orang indian suku Cherokee pada tahun 1787.
Disana
akan terlihat tanda tangan kepala suku Cherokee saat itu dengan nama
Abdel-Khak and Muhammad Ibn Abdullah. Subhanallah….Kok bisa?
Sejarahnya panjang,
Semangat
orang-orang Islam dan Cina saat itu untuk mengenal lebih jauh planet
(tentunya saat itu nama planet belum terdengar) tempat tinggalnya selain
untuk melebarkan pengaruh, mencari jalur perdagangan baru dan tentu
saja memperluas dakwah Islam mendorong beberapa pemberani di antara
mereka untuk melintasi area yang masih dianggap gelap dalam peta-peta
mereka saat itu.
Beberapa
nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan hampir semua orang
pernah mendengarnya sebut saja Tjeng Ho dan Ibnu Batutta, namun beberapa
lagi hampir-hampir tidak terdengar dan hanya tercatat pada buku-buku
akademis.
Para
ahli geografi dan intelektual dari kalangan muslim yang mencatat
perjalanan ke benua Amerika itu adalah Abul-Hassan Ali Ibn Al Hussain Al
Masudi (meninggal tahun 957), Al Idrisi (meninggal tahun 1166), Chihab
Addin Abul Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) dan Ibn Battuta
(meninggal tahun 1369).
Menurut
catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 – 957),
Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di
Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi. Dalam
bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and
Quarries of Jewels), Al Masudi melaporkan bahwa semasa pemerintahan
Khalifah Spanyol Abdullah Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Saeed
Ibn Aswad berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi
Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang
disebutnya Ard Majhoola, dan kemudian kembali dengan membawa berbagai
harta yang menakjubkan.
Sesudah
itu banyak pelayaran yang dilakukan mengunjungi daratan di seberang
Lautan Atlantik, yang gelap dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis
buku ‘Akhbar Az Zaman’ yang memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan
para pedagang ke Afrika dan Asia.
Dr.
Youssef Mroueh juga menulis bahwa selama pemerintahan Khalifah Abdul
Rahman III (tahun 929-961) dari dinasti Umayah, tercatat adanya
orang-orang Islam dari Afrika yang berlayar juga dari pelabuhan Delba
(Palos) di Spanyol ke barat menuju ke lautan lepas yang gelap dan
berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil kembali dengan membawa
barang-barang bernilai yang diperolehnya dari tanah yang asing.
Beliau
juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar
Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II
(976-1009) seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat
meninggalkan pelabuhan Kadesh pada bulan Februari tahun 999 melintasi
Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary).
Ibn
Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke
barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana.
Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada bulan Mei 999.
Perlayaran
melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut
Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari
Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 –
1307) raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau
Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan
perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.
Sultan-sultan
dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu,
ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika.
Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384)
memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini
dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan
keilmuan yang maju di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak
dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan
yang tercatat melanglang buana hingga ke benua baru saat itu adalah
Sultan Abu Bakari I (1285 – 1312), saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa
(1312 – 1337), yang telah melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan
Atlantik hingga ke Amerika dan bahkan menyusuri sungai Mississippi.
Sultan
Abu Bakari I melakukan eksplorasi di Amerika tengah dan utara dengan
menyusuri sungai Mississippi antara tahun 1309-1312. Para eksplorer ini
berbahasa Arab. Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika diabadikan
dalam peta berwarna Piri Re’isi yang dibuat tahun 1513, dan
dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini
menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika selatan dan bahkan benua
Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat.
Bicara
tentang Cherokee tentu saja tidak bisa lepas dari Sequoyah (portait
kiri atas). Seorang asli suku Cherokee yang menghidupkan kembali
Syllabary suku mereka pada 1821. Syllabary adalah semacam aksara
barangkali, bila kita mengenalnya dengan abjad A sampai Z maka suku
Cherokee memiliki cara sendiri untuk aksara-nya. Yang membuatnya sangat
luar biasa adalah ternyata aksara yang ditemukan kembali oleh Sequoyah
mirip sekali dengan aksara Arab (lihat gambar kanan). Beberapa tulisan
cherokee abad ke-7 yang ditemukan terpahat pada bebatuan di Nevada
bahkan sangat mirip dengan tulisan “Muhammad” dalam bahasa Arab.
Bukti
lainnya adalah, Columbus sendiri mengetahui bahwa orang-orang Carib
(Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia faham bahwa orang-orang
Islam telah berada di sana terutama orang-orang dari Pantai Barat
Afrika. Mereka mendiami Karibia, Amerika Utara dan Selatan. Namun tidak
seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika.
Orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan beberapa menikahi
orang-orang pribumi.
Lebih
lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492 dalam pelayarannya antara
Gibara dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit
dengan indahnya menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa
reruntuhan masjid telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Dan
tahukah anda, 2 orang nahkoda kapal yang dipimpin oleh Columbus kapten
kapal Pinta dan Nina adalah orang-orang muslim yaitu dua bersaudara
Martin Alonso Pinzon dan Vicente Yanex Pinzon yang masih keluarga dari
Sultan Maroko Abuzayan Muhammad III (1362). [THACHER,JOHN BOYD:
Christopher Columbus, New York 1950]
Dan
mengapa hanya Columbus saja yang sampai saat ini dikenal sebagai penemu
benua amerika? Karena saat terjadi pengusiran kaum yahudi dari spanyol
sebanyak 300.000 orang yahudi oleh raja Ferdinand yang Kristen, kemudian
orang-orang yahudi menggalang dana untuk pelayaran Columbus dan berita
‘penemuan benua Amerika’ dikirim pertama kali oleh Christopher Columbus
kepada kawan-kawannya orang Yahudi di Spanyol. Pelayaran Columbus ini
nampaknya haus publikasi dan diperlukan untuk menciptakan legenda sesuai
dengan ‘pesan sponsor’ Yahudi sang penyandang dana. Kisah selanjutnya
kita tahu bahwa media massa dan publikasi dikuasai oleh orang-orang
Yahudi yang bahkan dibenci oleh orang-orang seperti Henry Ford si raja
mobil Amerika itu. Maka tampak ada ketidak-jujuran dalam menuliskan
fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika. Penyelewengan sejarah oleh
orang-orang Yahudi yang terjadi sejak pertama kali mereka bersama-sama
orang Eropa menjejakkan kaki ke benua Amerika.
Dan
tahukah anda, sebenarnya laksam ana Zheng He atau yang di Indonesia
lebih dikenal dengan nama laksamana Cheng Ho adalah penemu benua amerika
pertama, sekitar 70 tahun sebelum Columbus.
Sekitar
70 tahun sebelum Columbus menancapkan benderanya di daratan Amerika,
Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke sana. Para peserta seminar
yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London beberapa
waktu lalu dibuat terperangah. Adalah seorang ahli kapal selam dan
sejarawan bernama Gavin Menzies dengan paparannya dan lantas mendapat
perhatian besar.
Tampil
penuh percaya diri, Menzies menjelaskan teorinya tentang pelayaran
terkenal dari pelaut mahsyur asal Cina, Laksamana Zheng He (kita
mengenalnya dengan Ceng Ho-red). Bersama bukti-bukti yang ditemukan dari
catatan sejarah, dia lantas berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator
ulung dari masa dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, dan
bukannya Columbus.
Bahkan
menurutnya, Zheng He ‘mengalahkan’ Columbus dengan rentang waktu
sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan
lantaran masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si
penemu benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini
dikuatkan dengan sejumlah bukti sejarah. Adalah sebuah peta buatan masa
sebelum Columbus memulai ekspedisinya lengkap dengan gambar benua
Amerika serta sebuah peta astronomi milik Zheng He yang dosodorkannya
sebagai barang bukti itu. Menzies menjadi sangat yakin setelah meneliti
akurasi benda-benda bersejarah itu.
“Laksamana
inilah yang semestinya dianugerahi gelar sebagai penemu pertama benua
Amerika,” ujarnya. Menzies melakukan kajian selama lebih dari 14 tahun.
Ini termasuk penelitian peta-peta kuno, bukti artefak dan juga
pengembangan dari teknologi astronomi modern seperti melalui program
software Starry Night.
Dari
bukti-bukti kunci yang bisa mengubah alur sejarah ini, Menzies
mengatakan bahwa sebagian besar peta maupun tulisan navigasi Cina kuno
bersumber pada masa pelayaran Laksamana Zheng He. Penjelajahannya hingga
mencapai benua Amerika mengambil waktu antara tahun 1421 dan 1423.
Sebelumnya armada kapal Zheng He berlayar menyusuri jalur selatan
melewati Afrika dan sampai ke Amerika Selatan.
Uraian astronomi pelayaran Zheng He kira-kira menyebut, pada larut malam saat terlihat bintang selatan sekitar tanggal 18 Maret 1421, lokasi berada di ujung selatan Amerika Selatan. Hal tersebut kemudian direkonstruksi ulang menggunakan software Starry Night dengan membandingkan peta pelayaran Zheng He.
“Saya
memprogram Starry Night hingga masa di tahun 1421 serta bagian dunia
yang diperkirakan pernah dilayari ekspedisi tersebut,” ungkap Menzies
yang juga ahli navigasi dan mantan komandan kapal selam angkatan laut
Inggris ini.
Dari sini, dia akhirnya menemukan dua lokasi berbeda dari pelayaran ini berkat catatan astronomi (bintang) ekspedisi Zheng He.
Lantas
terjadi pergerakan pada bintang-bintang ini, sesuai perputaran serta
orientasi bumi di angkasa. Akibat perputaran bumi yang kurang sempurna
membuat sumbu bumi seolah mengukir lingkaran di angkasa setiap 26 ribu
tahun. Fenomena ini, yang disebut presisi, berarti tiap titik kutub
membidik bintang berbeda selama waktu berjalan. Menzies menggunakan
software untuk merekonstruksi posisi bintang-bintang seperti pada masa
tahun 1421.
“Kita sudah memiliki peta bintang Cina kuno namun masih membutuhkan penanggalan petanya,” kata Menzies.
Saat
sedang bingung memikirkan masalah ini, tiba-tiba ditemukanlah
pemecahannya. “Dengan kemujuran luar biasa, salah satu dari tujuan yang
mereka lalui, yakni antara Sumatera dan Dondra Head, Srilanka, mengarah
ke barat.”
Bagian
dari pelayaran tersebut rupanya sangat dekat dengan garis katulistiwa
di Samudera Hindia. Adapun Polaris, sang bintang utara, dan bintang
selatan Canopus, yang dekat dengan lintang kutub selatan, tercantum
dalam peta. “Dari situ, kita berhasil menentukan arah dan letak Polaris.
Sehingga selanjutnya kita bisa memastikan masa dari peta itu yakni
tahun 1421, plus dan minus 30 tahun.”
Atas
temuan tersebut, Phillip Sadler, pakar navigasi dari
Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, mengatakan perkiraan dengan
menggunakan peta kuno berdasarkan posisi bintang amatlah dimungkinkan.
Dia juga sepakat bahwa estimasi waktu 30 tahun, seperti dalam pandangan
Menzies, juga masuk akal.
Selama
ini, masyarakat dunia mengetahui kiprah Zheng He sebagai penjelajah
ulung. Dia terlahir di Kunyang, kota yang berada di sebelah barat daya
Propinsi Yunan, pada tahun 1371. Keluarganya yang bernama Ma, adalah
bagian dari warga minoritas Semur. Mereka berasal dari kawasan Asia
Tengah serta menganut agama Islam. Ayah dan kakek Zheng He diketahui
pernah mengadakan perjalanan haji ke Tanah Suci Makkah. Sementara Zheng
He sendiri tumbuh besar dengan banyak mengadakan perjalanan ke sejumlah
wilayah. Ia adalah Muslim yang taat.
Yunan
adalah salah satu wilayah terakhir pertahanan bangsa Mongol, yang sudah
ada jauh sebelum masa dinasti Ming. Pada saat pasukan Ming menguasai
Yunan tahun 1382, Zheng He turut ditawan dan dibawa ke Nanjing. Ketika
itu dia masih berusia 11 tahun. Zheng He pun dijadikan sebagai pelayan
putra mahkota yang nantinya menjadi kaisar bernama Yong Le. Nah kaisar
inilah yang memberi nama Zheng He hingga akhirnya dia menjadi salah satu
panglima laut paling termashyur di dunia.
Sumber: http://hermansy.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar