Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia
yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan
agamanya. Pergolakan batin itulah yang mendorongnya untuk mencari agama
yang dapat menentramkan hatinya.
Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:
Salman
dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran.
Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya di
sana dan memiliki rumah terbesar.
Ayahnya menyayangi dia,
melebihi siapa pun. Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman
semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya pun
menjaga dia di rumah, seperti penjara.
Ayah Salman memiliki
sebuah kebun yang luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah.
Suatu ketika ayahnya meminta dia mengerjakan sejumlah tugas di
tanahnya. Tugas dari ayahnya itulah yang menjadi awal pencarian
kebenaran.
"Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu
hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi
ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam
perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya
mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak mengetahui
bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam
rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan
mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang
mereka lakukan."
"Ketika saya melihat mereka, saya menyukai salat
mereka dan menjadi tertarik terhadapnya (yakni agama). Saya berkata
(kepada diriku), 'Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami'".
Salman
memiliki pemikiran yang terbuka, bebas dari taklid buta. "Saya tidak
meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah
ayahku."
Dan ketika pulang, ayahnya bertanya. Salman pun
menceritakan bertemu dengan orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik.
Ayahnya terkejut dan berkata: "Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama
itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik."
"Tidak, agama itu lebih baik dari milik kita," tegas Salman.
Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai kakinya.
Salman
tak kehabisan akan dan mengirimkan sebuah pesan kepada penganut
Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada kafilah pedagang yang pergi
ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun membuka rantai dan
kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah.
Ketika tiba di
Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia
berkata: "Saya ingin menjadi seorang Nasrani dan memberikan diri saya
untuk melayani, belajar dari anda, dan salat dengan anda."
Sang
pendeta menyetujui dan Salman pun masuk ke dalam gereja. Namun tak lama
kemudian, Salman menemukan kenyataan bahwa sang pendeta adalah seorang
yang korup. Dia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun
ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri.
Ketika
pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk
menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu korup dan
menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang
dikumpulkan dari sedekah para jemaah.
Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya.
Pendeta
yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di
tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk
dirinya sendiri.
Salman pun pergi ke Arab mengikuti para pedagang
dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para pedagang
itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di Wadi
al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu
mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu
menjual dia kepada seorang Yahudi.
Singkat cerita, akhirnya
Salman dapat sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan
yang baru hijrah dari Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan yang
dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan
langsung dari beliau.
Betapa gembira hatinya, kenyataan yang
diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin
bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di
tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai
saudara.
Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena
idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang
Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat
dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel.
Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam
Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari
dalam kota.
Rasulullah SAW pun meminta masukan dari
sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah
bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil
Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh
bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah
SAW, saran tersebut diterima.
Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.
Diolah
dari: Wikipedia, The Search for The Truth -by a Man Known as Salman the
Persian karangan Dr Saleh as-Saleh, dan sumber-sumber lainnya. (jri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar