Gunung
Tambora terletak di pulau Sumbawa yang merupakan bagian dari kepulauan
Nusa Tenggara. Gunung yang terbentang 340 km di sebelah utara sistem
palung jawa ini telah meletus sebanyak tiga kali sebelum letusan besar di tahun 1815, namun besarnya tidak diketahui.
Setelah mengalami ketidakaktifan, baru pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung
ini sangat kuat. Tiga lajur api terpancar dan bergabung. Seluruh
pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan
diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan
abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun
menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora.
Ledakan
besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan
besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal
11 dan 17 April 1815. Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada
skala Volcanic Explosivity Index. Letusan ini empat kali lebih kuat
daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883.
Akibat
dari letusan besar itu adalah, semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur.
Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan
membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km .
Tsunami
besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10
April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.
Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum
tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Akibat
letusan ini pun merambat sampai ke Benua Eropa. Inilah penyebabnya,
tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43
km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi
terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa
bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.
Angin
bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat
terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat
di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3
September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul
berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda
di atas.
Mengakibatkan
cuaca memburuk, kabaranya Napoleon Bonaparte pun sampai harus bertekuk
lutut di tangan Inggris dan Prussia. Setelah tiga hari Tambora meletus, tepatnya pada 18 Juni 1815,
Napoleon
terjebak musuh dikarenakan sepanjang hari cuaca memburuk. Hujan terus
mengguyur kawasan tersebut. Padahal tentara Prancis saat itu sedang
menuju laga pertempuran. Akibat
cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua
kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan
salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di
atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi.
Perang
Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon
dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah.
Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di
selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan
waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.
Kenneth
Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan
Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada
pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996),
Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar
terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo
pada Juni 1815.
|
Napoleon Bonaparte |
sumber: http://www.unikz.up2det.com/2012/05/gunung-tambora-meletus-napoleon-kalah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar